ANALOK....

TEORI WEBER

A. PENDAHULUAN

Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Selain itu, teori lokasi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis dari sumber daya yang langka serta pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan usaha lain.

Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberpa faktor, seperti bahan baku lokal (local input), permintaan lokal (local demand), permintaan lokal (local demand), bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input), permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007).

Salah satu ahli yang mengemukakan teori lokasi adalah Alfred Weber. Alfred Weber, ekonom Jerman yang pernah mengajar di Universitas Praha dan di Universitas Heidelberg (Jerman), memiliki teori yang berkaitan dengan least cost location yang menyebutkan bahwa lokasi industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling minimal. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimun dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

B. ANALISIS TEORI WEBER

Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum serta faktor deglomerasi atau aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Weber menngemukakan tiga asumsi utama, antara lain :

· Lokasi bahan baku ada ditempat tertentu saja (given);

· Situasi dan ukuran tempat konsumsi adalah tertentu juga sehingga terdapat suatu persaingan sempurna ;

· Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak (immobile).

Dengan menggunakan ketiga asumsi di atas, maka biaya transportasi akan tergantung dari dau hal, yaitu bobot barang dan jarak pengangkutan.

Selain itu Teori Lokasi Weber ini juga bisa menjelaskan dengan sangat baik mengenai indutri berat mulai revolusi industri sampai dengan pertengahan abad dua puluh. Bahwa kegiatan yang lebih banyak menggunakan bahan baku cenderung untuk mencari lokasi dekat dengan lokasi bahan baku, seperti pabrik alumunium lokasinya harus dekat lokasi tambang dan dekat dengan sumber energi (listrik). Kegiatan yang menggunakan bahan baku yang ada di mana-mana, seperti air, cenderung dekat dengan lokasi pasar. Untuk menilai masalah ini, Weber mengembangkan material index yang diperoleh dari berat input dibagi berat dari produk akhir (output). Jika material indexnya lebih dari 1 maka lokasi cenderung kearah dekat dengan bahan baku, jika kurang dari 1 maka penentuan lokasi industri cenderung mendekati pasar.

Weber juga menjelaskan mengenai adanya gejala aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum karena membawakan berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebut aglomeration economics. Perpindahan ini akan mengakibatkan kanikan biaya transportasi sehingga dari segi ini tidak maksimum. Oleh karena itu, industri tersebut baru akan pindah bila penghematan yang dibawa oleh aglomeraton economics lebih besar daripada kenaikan biaya angkutan yang dibawakan kepindahan tersebut.

C. KESIMPULAN

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan industri adalah terdapatnya sarana transportasi yang memadai. Peranan transportasi ini sangat penting bagi suatu kawasan untuk menyediakan aksesbilitas bagi masyarakat unutk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan barang dan jasa, serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi. Semakin kecil biaya transportasi antara lokasi bahan baku menuju pabrik dan dari pabrik menuju pasaran, maka jumlah hasil produksi juga akan semakin rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Raharjo. 2004. Teori Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Makasar : LEPHAS

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

www. Google.com/ Donigeografsejati.blogspot.com

www. Google.com/ menurut teori weber aplikasi.html

TUGAS PRASARANA WILAYAH DAN KOTA

Mengelola modal dan operasional

Dalam diskusi insfrastruktur, perhatian biasanya terfokus pada peningkatan dan pengelolaan modal. Peningkatan dan pengelolaan modal sangat diperlukan konsep pengelolaan fasilitas modal (fasilitas manajemen) dan kinerja yang baik (masalah manajemen operasi) yang terkait melalui perencanaan dan pemeliharaan, operasi tidak bisa sukses.

Salah satu cara untuk mengetahui hubungan ini adalah dengan melihat tabel dibawah ini, dimana menunjukkan bidang perhatian manajemen, staff yang terlibat, dan pembiayaan yang digunakan. .

Bidang perhatian manajemen

Staff yang terlibat

Pembiayaan

Kecukupan fasilitas



Fasilitas baru

Perencanaan/ teknis

Modal anggaran

Fasilitas yang ada

O & M

Anggaran operasi

Keeefektifan operasi

O & M

Anggaran Operasi

Kendala keuangan yang terjadi saat ini disebabkan oleh bunga yang cukup besar dalam membuat fasilitsa yang ada bertahan lebih lama dan beroperasi lebih baik. Hal ini menjadi dasar kekecewaan dari operasi modal proyek intensif, seperti dalam kasus program pengolahan limbah.

Kebutuhan untuk fokus pada pembuatan fasilitas yang ada bekerja lebih baik, diilustrasikan oleh penciptaan REMR (program penelitian yang diumumkan oleh korps pasukan AS dari insinyur tahun 1983 (REMR berdiri untuk memperbaiki, evaluasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi) tujuan tersebut. program yang tercantum di dalam surat berita pertama dari program ini: untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan menerapkan teknologi yang efektif dan terjangkau untuk menjaga, dan jika mungkin, memperpanjang hidup layanan untuk proyek-proyek pekerjaan sipil yang ada.

IMPLIKASI TEORI VON THUNEN PADA ZONA LAHAN DAN STRUKTUR RUANG KOTA

A. PENDAHULUAN
Kota adalah simbol peradaban tinggi rendahnya sebuah peradaban manusia dapat dilihat dari kompleksifitas fisik dan struktur sosial sebuah kota. Salah seorang tokoh yang mengemukakan pendapatnya. Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal adalah Teori Konsentris (Concentric Zone Theory), Teori Sektoral (Sector Theory) dan Teori Pusat Berganda (Multiple Nuclei Theory). Ketiga teori tersebut mengkaji bahwa setiap kota memiliki pusat kota dan biasanya dinamakan Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Bussiness District (CBD).

B. IMPLIKASI TEORI VON THUNEN PADA ZONA LAHAN DAN STRUKTUR RUANG KOTA.
Konsep Von Thunen menyatakan bahwa sewa tanah mempengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada alokasi tertentu masih tetap berlaku dan hal ini mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu. Von Thunen menggunakan contoh sewa tanah untuk berproduksi pertanian, tetapi banyak ahli studi berpendapat bahwa teori inii juga relevan untuk sewa atau penggunaan lahan di perkotaan.dengan menambah kenyamanan dan penggunaan tanah di masa lalu.
Penggunaan lahan memang berbeda anatara satu kota dengan kota yang lainnya. Namun, kecenderungan saat ini adalah pusat kota umumnya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa, sedikit ke arah luar diisi oleh kegiatan industri kerajinan (home industry) dan juga perumahan sedang. Perumahan mewah justru mengambil lokasi ke arah luar lagi karena mengutamakan kenyamanan. Industri besar umumnya berada di luar kota karena banyak pemerintah kota yang melarang industri besar dan berpolusi mengambil lokasi di dalam kota.
Perkembangan dari Teori Von Thunen adalah selain harga tanah tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin menjauh dari pusat kota, harga tanah makin tinggi pada jalan-jalan utama. Demikian yang terjadi terhadap lahan yang ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli lahan tersebut. Kelangkaan lahan di kota-kota besar dapat ditujukan oleh banyak sekali toko-toko yang terletak di pusat kota dengan biaya sewa atau beli tanahnya lebih mahal dari biaya sewa atau beli rumah yang jauh dari pusat perkotaan. Bahkan harga lahan di pusat kota selalu naik mengikuti perkembangan yang terjadi dari tahun ketahun.


C. KESIMPULAN
Jadi implikasi Teori Von Thunen pada zona lahan dan struktur kota adalah zona lahan pada pusat kota biasanya digunakan untuk kawasan perdagangan dan jasa. Selain itu harga sewa tanah di perkotaan, semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga sewa atau beli lahan.

DAFTAR PUSTAKA


Adisasmita, Raharjo. 2004. Teori Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Makasar : LEPHAS

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

http://www.geografiana.com/dunia/pelajar/von-thunen-teori-lokasi-modern

http://www.google.com/teori pemanfaatan tanah Von Thunen.AtitHidayat.htm.

Ambon Maniise...

PERKEMBANGAN MORFOLOGI KOTA AMBON

Kota adalah simbol peradaban. Kota akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan fisik. Dalam hal ini perencanaan dan perencangan kota sangatlah penting sebagai pengendali perkembangan kota melalui proses yang membawa implikasi pola morfologi kota.

Morfologi kota merupakan kesatuan elemen-elemen pembentuk kota yang didalamnya mencakup aspek bangunan, sistem sirkulasi, ruang terbuka, prasarana kota, pola tata ruang, dan komposisi lingkungan terbangun terhadap pola bentuk kawasan.

Salah satu kota di Indonesia yang mengalami perkembangan morfologi, yaitu Kota Ambon. Kota Ambon adalah ibu kota Provinsi Maluku. Kota ini memiliki luas wilayah 377 km2. Secara astronomis kedudukan wilayah Kota Ambon terletak diantara : 30-40 lintang selatan dan 1280-1290 bujur timur. Rata-rata topografi wilayah Kota Ambon agak datar mulai dari pesisisr sampai dengan wilayah permukiman. Morfologi daratan Kota Ambon bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit, serta bergunung dengan lereng dominan agak landai hingga curam.

Kota Ambon selain dikenal sebagai ibu kota Provinsi Maluku, jauh sebelumnya ratusan tahun yang lalu, kota ini sudah menjadi markas pusat pemerintahan Portugis, lalu markas pusat pemerintahan Gubernur Jendral Belanda, selain Kota Jakarta. Bahkan para saudagar dari negeri Cina, Arab, India pun berdatangan sejak saat itu. Kota ini juga memiliki julukan ‘Ambon Manise’. Oleh karena itu, Kota Ambon memiliki moroflogi kota bergaya Eropa. Dalam konteks historis sebenarnya keberadaan bangunan peninggalan Belanda merupakan potensi (aset) yang dapat dikembangkan bagi perkembangan arsitektur Kota Ambon. Melalui aturan-aturan “produk” kolonial, ternyata telah memberikan “warna” pada bentukan fisik lingkungan baik gaya arsitektur maupun pola-pola tata ruang yang terbentuk. Selain bentuk bangunan yang penuh historis, Kota Ambon juga terkenal dengan keindahan alamnya yang dikelilingi perbukitan, laut, dan teluk yang indah.

Pada tahun 1999 hingga awal 2004 semua keindahan Kota Ambon hancur baik fisik maupun nonfisik akibat konflik sosial yang terjadi disana. Menurut pendapat saya, hal inilah yang mendasari Kota Ambon harus memperbaiki pembangunan kembali kotanya dan mengalami perkembangan morfologi. Pemerintah Kota Ambon melakukan perbaikan sarana prasarana umum untuk kesejahteraan penduduknya, seperti membangun perumahan, fasilitas pendidikan, kesehatan, drainase, penerangan jalan lingkungan. Pemerintah Kota Ambon menjadi Kota Ambon menjadi 3 kawasan, yaitu

· Kawasan Passo merupakan kawasan yang berada di pusat Kota Ambon. Kawasan ini ditujukan untuk sentra ekonomi baru dan untuk pengembangan perumahan dan permukiman baru baik untuk rumah tinggal maupun ruko (toko).

· Kawasan batu merah merupakan kawasan sentra ekonomi Kota Ambon dan pengembanan industri rumah tangga yang berkembang di kawasan tersebut, dan melakukan peningkatan lingkungan ke arah yang lebih sehat.

· Kawasan rumah tiga merupakan kawasan yang dikembangkan sebagai kawasan pendidikan dan penelitian.

Melalui pengembangan kawasan tersebut diharapkan dapat memperbaiki dan membangun Kota ambon seperti semula.

Jadi hal terpenting yang harus diperhatikan Pemerintah Kota Ambon dalam proses pembangunan, yaitu melakukan pengendalian perkembangan kota harus tetap mempertahankan unsur histori pembentukan kota agar tidak kehilangan karakteristik spesifik Kota Ambon itu sendiri.


sumber : http://ambon.go.id/